Saturday 27 February 2016

Meramal Zaman

Unknown     01:08    

Ilmu politik, yang dinikmati di sesi perkuliahan berbagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia, berasal dan dikonstruksi oleh peradaban Barat. Memang, sepertinya konstruksi ilmu politik (yang dari Barat) tersebut tidak ada titik keanehan yang didapati. Namun, hal ini akan menjadi aneh tatkala kita melihatnya dari sisi ke-ruang-waktu-an. Logikanya, suatu produk pemikiran (katakanlah ilmu politik) merupakan hasil penggodokan antara subjek yang mengkonstruk keilmuan tersebut (yang bersinggungan) dengan realitas sekelilingnya. Apakah mungkin ilmu politik yang datang dari Barat, mampu diterapkan secara stabil di lingkungan Indonesia (yang pastinya lingkungannya sangat berbeda jauh)? Menurut hemat penulis, ilmu politik a la Barat bisa diterapkan di Indonesia, dengan syarat, harus melalui mekanisme filterasi. Mana yang baik buat Indonesia, kita ambil, dan mana yang kurang baik bagi Indonesia, hendaknya tidak diambil. Bukankah ini yang diajarkan oleh pendahulu kita melalui adagium al-muchaafadhotu  ‘ala al-qodiimi al-shoolichu wa al-akhdzu bi al-jadiidi al-ashlachu (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik)?
Pada kenyataannya, di Indonesia, ilmu politik tersebut diserap secara taken for granted tanpa ada filterasi dan pengimbang. Dan beginilah jadinya wajah politik kita (secara teoritis dan praktis): lebih diwarnai dengan individualistik (yang hanya mementingkan diri pribadi) dan hanya berupa tindakan sesaat (baca: politik praktis). Seharusnya, disamping mengajarkan ilmu politik khas Barat, perguruan tinggi kita juga (harus) menyediakan berbagai mata kuliah yang asli dari bumi indonesia. Karena banyak mahasiswa kita yang hanya melulu belajar (dari perkuliahan dan membaca literatur) ilmu politik Barat, mungkin pertanyaan yang akan mencuat ke permukaan adalah, apakah ada ilmu politik asli Indonesia? Jawabannya adalah ‘ada!’.
Ahmad Baso menelusuri jejak-jejak ilmu politik khas Nusantara (sekarang Indonesia) yang hasilnya dirangkum dalam buku ‘Pesantren Studies’ (yang ada sembilan nomor buku, dan beberapa nomor buku ada beberapa juz). Dalam catatan-catatan tersebut dapat dimengerti bahwa ilmu politik (dan praktik budaya-sosial) memang sudah ada sejak zaman masuknya islam di Nusantara. Dan hendaknya, menurut Ahmad Baso, kita harus mempelajarinya terlebih dahulu sebelum mendalami ilmu politik Barat. Ini, mungkin, dimaksudkan sebagai filterasi dan pengimbang terhadap ilmu politik kulit putih tersebut.
Pada masa kolonialisme, model ilmu politik Nusantara disudutkan dan diberi label ‘irrasional’ sehingga harus dijauhi dan ditinggalkan. Pelabelan ‘irrasional’ pada ilmu politik pribumi ini merupakan (semacam) strategi dan propaganda (dari Belanda) untuk memberangus ilmu politik Nusantara. Hal ini disebabkan karena Belanda takut dengan ilmu politik Nusantara, yang mampu menjatuhkan dan mengusir belanda dari aksi penjajahan. Dalam Buku Ahmad Baso (Pesantren Studies 4a) tersebut dipaparkan, bahwa untuk menjatuhkan belanda, salah satunya, adalah dengan cara membungkus ide politik Nusantara ke dalam sebuah ‘ramalan’ dan meletakkan berbagai aktor intelektual (Nusantara) sebagai jejaring informan.

Ramal-Meramal; Sebuah Strategi (Politik) Perlawanan
Masyarakat Nusantara tidaklah heran mendengar kata ‘ramalan’, karena di masa silam meramal adalah sebuah hal yang biasa. Namun, ramalan yang disebut itu bukanlah ramalan yang kita kenal sekarang sebagai popular culture (budaya pop): ramalan bintang, zodiak, primbon, dan berbagai ramalan yang banyak terkurung di dalam media. Ramalan masyarakat Nusantara silam tersebut merupakan kesadaran visioner terhadap tindakan politik. Artinya kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui kejadian yang akan datang, yang apabila sudah diketahui, akan ditindaklanjuti dengan cara mencari strategi dan taktik untuk meminimalisir hal negatif yang ada dalam ramalan tersebut.
Meramal, pada waktu itu, berarti membaca tanda-tanda zaman. Menilik apa yang ada di masa lalu, kemudian mengoreksinya, dan ditarik ke masa sekarang, lalu merumuskan strategi untuk membangun masa depan. Hal inilah yang dilakukan oleh salah seorang ulama’ Aceh abad ke 19, Sayyid Abdullah Jamalullail. Beliau meramalkan akan datangnya kemerdekaan Nusantara (yang diberi nama al-Jumhuriyah al-Indonesia, yang berarti Republik Indonesia) dari jajahan Belanda, setelah masuknya Jepang ke Nusantara. Tidak hanya meramal sampai situ, beliau juga mewanti-wanti, setelah berdirinya al-Jumhuriyah al-Indonesia, agar rakyat Indonesia tidak terpecah belah, tidak mendirikan berbagai kerajaan di dalam kerajaan yang sah (Indonesia).
Hal ini berarti kegiatan meramal merupakan sebuah strategi politis untuk menghardik dan menakut-nakuti penjajah (Belanda), sebagai ancaman psikologis, dan memberi pengharapan kepada rakyat terjajah, akan datangnya hari pencerahan (kemerdekaan). Ramalan tentang ratu adil, sebenarnya, juga dimaksudkan untuk demikian. Di sinilah signifikansi ketakutan Belanda terhadap gerakan meramal. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa belanda hanya menerima ramalan yang pro terhadap kepentingan Belanda, dan ramalan yang sebaliknya (menganggap Belanda akan mundur) dianggap tidak rasional dan harus dijauhi.
Buku ‘Pesantren Studies’ ini merupakan buku yang ada di tataran label Post-Kolonialisme. Sebuah aliran baru dalam pemikiran untuk menyuarakan wajah kebenaran baru, bahwa di timur juga terdapat berbagai kebenaran yang layak untuk dihayati. Tidak hanya Barat yang mempunyai kebenaran, sebagaimana yang diyakini oleh para orientalis. Buku Ahmad Baso tersebut menyuarakan wajah kebenaran politik khas Nusantara, yang (mungkin) bisa dijadikan jalan keluar bagi problema perpolitikan Indonesia (secara teoritis maupun praktis). Karena pada kenyataannya politik khas Barat tidak mampu menstabilkan kehidupan di Indonesia, malah memunculkan gerakan politik yang individual.
Dalam menulis teks ‘Pesantren Studies’, Ahmad baso menggunakan pendekatan arkeologi (semacam pendekatan yang digunakan oleh Michel Foucault dalam menganalisis berbagai macam diagnosa terhadap kegilaan dalam rentang sejarah, dan yang diadaptasi oleh Muhammad Abid al-Jabiri dalam merumuskan berbagai epistemologi nalar Arab-nya). Pendekatan ini berguna untuk menyingkap berbagai fakta yang semula terpendam rapat. Menurut hemat penulis, buku ini sangat baik untuk anda yang mendalami sejarah Nusantara dan yang konsen dalam bidang teori-teori soial pada umumnya, dan ilmu politik secara khusus.[Adb]

0 comments :

© 2011-2014 Warta Semar.com | Distributed By My Blogger Themes | Designed By Bloggertheme9